Kulihat dirinya duduk menyendiri di sana. Di sebuah taman di kota, yang dipenuhi oleh ribuan bunga mawar. Di bawah pohon sakura, dengan desahan angin yang sejuk membuat rambutnya yang panjang menari-nari. Sambil memegang sebuah buku novel, ia terdiam membaca dengan anggun. Ada dorongan dalam hati untuk mendekatinya, berkenalan dengannya. Tapi apa dayaku, nyaliku yang mulai menciut membuatku tak berdaya, aku hanya terdiam. Sebegitu sulitnya kah diriku untuk mendekatinya? Kukumpulkan keberanianku untuk mencoba berkenalan. Tapi dalam waktu yang bersamaan, ia menutup bukunya, pergi meninggalkan tempat itu. Aku hanya berdiri di sana, bak sebuah patung, terdiam sambil ditemani hembusan angin.
Sejak hari itu, aku tak bisa berhenti memikirkannya, sempat kugambar wajahnya hanya dengan selembar kertas putih dan sebuah pensil gambar. Aku sendiri suka menggambar, mungkin hanya itu yang bisa kulakukan. Kulihat hasil gambaranku tentang dia, aku sempat berfikir memberi gambar itu sebuah judul, tapi entahlah, namanya pun tidak aku ketahui. Akhirnya kuberi gambarku sebuah judul, “Gadis Bermata Mawar”. Ku membulatkan tekadku untuk bertemu dengannya, berjanji pada diriku. Kuikut sertakan membawa gambar yang kubuat.
Pagi yang cerah kuawali seperti hari-hari biasa, tapi hari ini berbeda, aku merasa bersemangat dan gugup bersamaan. Hanya dengan modal membawa tas selempang dan sebuah kamera, ku berangkat menggunakan kereta ke taman itu. Aku berdiri terdiam di kereta, walaupun masih ada banyak bangku yang kosong, sambil melihat keluar jendela yang berembun.
Sesampainya di sana, aku mendengar suara jeritan seorang perempuan yang berteriak. Tanpa berfikir panjang, aku langsung pergi mencari suara itu. Tak disangka-sangka, ternyata sang gadis lah yang berteriak meminta tolong! Ia tergeletak di tanah sambil menangis, dalam waktu yang bersamaan, seorang lelaki pergi meninggalkan tempat kejadian. Kembali tanpa berfikir panjang, aku mengejarnya. Ternyata, lelaki tersebut tengah membawa sebuah tas perempuan, sepertinya itu milik gadis itu. Dengan secepat kilat kutendang kakinya hingga ia jatuh tersungkur. Beberapa petugas keamanan pun datang dan mengamankan lelaki tersebut. Aku berlari kembali ke taman untuk mengembalikan tas gadis itu, ia menangis di bawah pohon sakura. “Hai, maaf, ini tas kamu ya?” ujarku sambil membungkuk berbicara padanya. “Iya ini punyaku! Makasih banyak ya!” sang gadis jawab sambil menghapus air mata dari wajahnya. Dengan perlahan, sang gadis mulai tersenyum, lalu berkata, “Makasih banyak ya udah mau nolongin aku. Namaku Intan, namamu siapa?”. “Iya sama-sama, namaku Erga, salam kenal Intan” kujawab dengan bahagia. Kami duduk dibawah pohon sakura sambil mengobrol, ku merasa begitu bahagia, serasa dunia hanya milik kami berdua.
Semenjak hari itu, aku dan Intan mulai sering berkomunikasi, lewat pesan singkat bahkan menelepon. Tiap menit ku menunggu balasan darinya, memang hanya 1-2 menit, tapi menunggu bak serasa 1000 tahun.
Suatu sore, saat tengah berdiri di balkon apartemenku, kulihat sesosok wanita di apartemen seberang, bukankah apartemen itu kosong? Mengapa wanita itu mirip dengan Intan ya? Mungkin hanya perasaanku saja. Aku memutar badan dan bersandar pada pengangan yang ada di balkon sambil memegang hp, mengirim pesan singkat pada Intan. Tak lama kemudian, Intan menelepon, tapi anehnya, mengapa suaranya terdengar sangat dekat ya? Aku bingung. Intan berkata di telepon, “Coba kamu nengok ke belakang”, aku pun terkaget. Ternyata wanita di apartemen sebarang itu adalah Intan! Aku tak bisa berkata-kata. Si Gadis Bermata Mawar ternyata tinggal deket sekali denganku! Senang sekali hati ini, mungkin hanya aku saja, tapi sepertinya Intan tengah senyum-senyum sendiri sambil menutupi wajahnya yang memerah. Kamar kami juga saling berhadapan, jadi kami dapat melihat satu sama lain dari jendela.
Tiap malam, hanya dengan modal sebuah papan tulis kecil dan sepucuk spidol, kami menulis dan menunjukkan ke satu sama lain. Banyak candaan juga “pendekatan” dapat terasa selama itu. Sesekali, aku dan Intan pergi ke taman, duduk di bawah pohon sakura itu. Sambil ditemani burung yang bernyanyi, kami duduk di sana, berdua.
Tiap hari kami selalu bertemu, Intan biasa bangun pukul 9 pagi. Setelah bangun, dia akan pergi ke balkon apartemennya sambil memegang gelas berisi minuman hangat. Di saat itu pula ku mulai rutin menunggu kedatangannya, mengucapkan “Selamat Pagi” padanya sambil melambaikan tangan dan dibuahi senyuman tulus. Sudah sering sekarang Intan mengajakku pergi ke taman kota. Walaupun hanya untuk sekedar bersantai di sana, tapi serasa sangat spesial bagiku. Duduk bersebelahan di bawah pohon sakura yang indah, kadang Intan suka tertidur di pundakku sambil masih memegang buku novel kesayangannya. Tak dapat kutahan perasaan cinta padanya, senyumannya yang manis, sifatnya yang baik dan penyayang, ku cintai semuanya tentangnya. Oh Tuhan, inikah yang dinamakan cinta? Perasaan ini tak dapat kupendam.
Sudah hampir 3 minggu sekarang, Intan dan aku banyak menjalani waktu bersama. Kadang, aku bermain ke apartemennya ataupun sebaliknya, ya paling sekadar menonton film atau makan bersama. Memang hal yang kecil, tapi sangat indah bagiku. Pernah suatu ketika, saat aku tengah berkunjung ke apartemen Intan, tiba-tiba hujan deras diluar. Lantas aku bingung bagaimana caraku pulang ke apartemen. Hujannya begitu deras, walaupun jarak apartemen kami sangat dekat, akan tetap berbahaya jika berada diluar karena angin begitu kencang. Intan pun berkata, “Erga, di luar hujannya deras, anginnya kencang pula, mungkin sebaiknya kamu menginap di sini, tidak apa-apa kok”. Aku terkaget, tak kusangka Intan mengatakan itu. Ya memang di luar cuaca tengah mengamuk, jadi kuputuskan untuk menginap semalam. Aku tidur di ruang tamu apartemen Intan, waktu kini menunjukkan pukul 2 pagi, di luar masih hujan ringan, tapi aku akan kembali ke apartemen besok pagi saja, aku lelah.
Sambil bersandar melihat keluar balkon apartemen Intan, aku terdiam melihat pemandangan kota. Intan sepertinya sedang tertidur pulas di kamar. Angin yang sejuk hampir membuatku tertidur, tapi sebuah tepukan di pundak membuatku bangun, ternyata itu Intan. Kami berdiri di sana dan berbicara sebentar, sambil menatap pemandangan kota yang dipenuhi cahaya. Sebelum Intan kembali ke kamarnya, ia berpesan, “Eh Ga, besok kita ke taman yuk”. “Ayuk!” ku jawab. Entah mengapa ada sesuatu yang membuatku terus berpikir. Biasanya Intan mengatakan itu dengan santai, tapi mengapa sekarang seperti orang gugup ya? Mukanya juga agak merah, seperti orang yang tengah menanggung rasa malu. Tak lama kemudian, aku tertidur pulas di ruang tamu.
Keesokan paginya, aku kembali ke apartemen dahulu untuk bersiap-siap. Kemudian berangkat bersama Intan ke taman. Sesampainya di taman, seperti biasa, kami membaca di bawah pohon sakura langganan Intan. Suatu saat kemudian, aku pergi untuk membeli minuman, meninggalkan tasku bersama Intan. Saat aku kembali, Intan tengah memangku tasku sambil memegang beberapa kertas. Aku bingung itu kertas apa. Ternyata, kertas yang tengah dipegang Intan merupkan hasil gamabaranku tentang Intan. Aku malu, tak dapat berkata-kata. Sambil melihat Intan yang tersenyum, ia berkata, “Si Gadis Bermata Mawar, kira-kira ini siapa ya Erga?” ucapnya. Aku tak dapat menjawab, serasa malu untuk berkata-kata. Namun pada akhirnya, kubulatkan tekad dan berkata, “Iya Intan, kamulah si gadis bermata mawar itu”. Intan tersenyum lebar, wajahnya memerah dan ia mulai menutupi wajahnya dengan kertas gambaranku.
Intan langsung memegang tanganku dan menarikku mendekati pohon sakura itu. Sambil memegang sebuah kayu kecil, Intan mulai mengukir sesuatu di pohon tersebut. “Coba kamu lihat…” ujar Intan dengan suara yang lembut. Kulihat ukirannya di pohon itu. Ia mengukir nama kami bersebelahan di dalam sebuah hati.
Dan pada saat itu, di bawah pohon sakura yang indah, disaksikan oleh jutaan mawar, si gadis bermata mawar menyebutkan kata, “Cinta”, untuk pertama kalinya.
0 comments
Post a Comment