Cerita Rakyat | Sangkuriang Legenda Jawa Barat

Legenda : Jawa Barat

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

 Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

Cerita Rakyat|Roro Anteng di Gunung Bromo

Legenda : Jawa Timur
Dikisahkan zaman dulu hidup pasang muda suami istri di suatu dusun. Sang istri akhirnya hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Anehnya, bayi perempuan ini sewaktu dilahirkan tidaklah menangis, sehingga kedua orang tuanya memberinya nama: Roro Anteng yang berarti perempuan yang tenang atau diam.

Waktu pun berlalu hingga Roro Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal di kalangan para jejaka saat itu. Tak terkecuali seorang sakti mandraguna bernama Kiai Bima. Berbekal kebringasannya alias kesaktiannya, Kiai Bima mendatangi Roro Anteng untuk melamarnya disertai ancaman. Lamaran tersebut harus diterima, jika tidak ia akan membuat dusunnya binasa.

Sebenarnya Roro Anteng merasa berat hati menerima lamaran tersebut. Namun, ia terpaksa menerimanya demi menyelamatkan dusunnya. Dan ia memiliki sebuah rencana untuk menggagalkan lamaran tersebut. Ya, Roro Anteng mensyaratkan kepada Kiai Bima jika ingin lamarannya diterima maka harus membuatkan sebuah danau dalam tempo satu malam.

Karena tak ingin kehilangan Roro Anteng, Kiai Bima menyanggupinya. Berbekal batok kelapa Kiai Bima mulai mengeruk tanah untuk dijadikan danau. Dalam waktu singkat, danau sudah tampak akan selesai. Roro Anteng yang telah bersiasat kemudian meminta orang-orang dusun untuk memukul-mukul alu supaya hari sudah terdengar pagi dan ayam mulai berkokok.

Kiai Bima segera sadar jika dirinya tidak berhasil menyelesaikan tantangan dari Roro Anteng. Ia pun tidak bisa memaksakan lamarannya. Hatinya yang kesal segera membanting batok kelapa yang dipegangnya kemudian meninggalkannya. Bekas batok kelapanya kemudian menjadi Gunung Batok yang terletak di sebelah Gunung Bromo. Sementara, bekas galiannya menjadi Segara Wedi (lautan pasir) yang bisa dilihat sampai saat ini.

Roro Anteng pun akhirnya bertemu Joko Seger dan menikah. Selama bertahun-tahun menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anakpun. Akhirnya Joko Seger berdoa kepada sang pencipta jika dikaruniai anak, dia bersedia mengorbankan anaknya itu.

Doa Joko Seger dikabulkan. Roro Anteng dan Joko Seger pun dikaruniai beberapa orang anak. Waktu berlalu sampai-sampai Joko Seger lupa dengan syarat doanya dulu. Waktu tidur, Joko Seger mendapat bisikan untuk memenuhi janjinya.

Joko Seger sebenarnya tidak rela mengorbankan salah satu anaknya. Namun, karena jika tidak dituruti akan terjadi bencana dan lagipula itu adalah janjinya sendiri, maka ia menyampaikannya kepada anak-anaknya. Salah seorang di antara anak-anak Joko Seger dan Roro Anteng pun bersedia untuk dikorbankan.

Hari H pun tiba. Keluarga Joko Seger menuju kawah Gunung Bromo seraya membawa aneka hasil bumi untuk sesaji. Salah seorang anak Joko Seger yang dikorbankan juga telah disiapkan. Bersama sesaji anak tersebut terjun ke kawah Gunung Bromo tersebut.

Setelah janji tersebut dilaksanakan keluarga Joko Seger pun hidup bahagia di sekitaran Gunung Bromo. Keturunan mereka menamai diri Suku Tengger - yang berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger.

Upacara pengorbanan anak-anak mereka masih bisa kita saksikan sampai sekarang. Di bulan purnama tanggal 14 atau 15 bulan Kasodo (penanggalan Jawa) dilakukan upacara Kasodo, di mana terdapat proses pelemparan sesaji ke kawah Gunung Bromo.

Cerita Rakyat | Timun Mas

Cerita rakyat Jawa Tengah Timun Mas

Dikisahkan seorang wanita Mbok Sirni namanya, ia seorang janda yang sangat menginginkan seorang anak agar dapat membantunya saat bekerja.

Suatu hari Mbok Sirni didatangi raksasa. “Aku akan membantumu mendapatkan seorang anak, tapi kau harus berjanji” kata si raksasa. “Apapun akan aku penuhi, asalkan aku mendapatkan anak” seru Mbok Sirni.

Kemudian si raksasa berkata “Ketika anakmu sudah berusia enam tahun, kau harus memberikannya padaku untuk aku santap”  Mbok Sirni setuju, kemudian raksasa memberinya biji mentimun “tanamlah biji mentimun ini”. Meskipun bingung Mbok Sirni tetap mengikuti perintah si raksasa. Dalam hati Mbok Sirni bertanya-tanya “bagaimana aku bisa mendapatkan anak dari biji mentimun?”

Setelah dua minggu pohon mentimun berbuah dan diantara buah mentimun ada satu buah yang paling besar dan berkilau seperti emas. Mbok Sirni membelah mentimun emas itu dengan hati-hati, dan ternyata mentimun itu berisi seorang bayi cantik. Mbok Sirni sangat bahagia, ia beri nama Timun Mas.

Semakin hari Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Suatu hari datanglah raksasa untuk menagih janji. Mbok Sirni ketakutan karena akan kehilangan Timun Mas. “Wahai raksasa datanglah dua tahun lagi, karena semakin dewasa Timun Mas akan semakin enak disantap” kata Mbok Sirni. Akhirnya raksasa pun setuju.

Mbok Sirni semakin sayang pada Timun Mas, setiap kali ia teringat akan janjinya pada raksasa hatinya semakin cemas dan sedih.

Suatu malam Mbok Sirni bermimpi, agar anaknya selamat dia harus menemui seorang petapa di Gunung Gundul.  Mbok Sirni akhirnya mengikuti perintah dalam mimpinya. Keesokan paginya, ia pergi ke Gunung Gudul untuk bertemu dengang si petapa. Benar saja di Gunung Gundul Mbok Sirni bertemu dengan petapa, dan diberi empat bungkusan kecil, yaitu biji mentimun, jarum, garam, dan terasi sebagai penangkal si raksasa.

Sesampainya dirumah Mbok sirni memberikan empat bungkusan tadi dan meminta Timun Mas untuk berdoa.

Pagi harinya datanglah raksasa untuk menagih janji. Mbok Sirni menyuruh Timun Mas untuk keluar dari pintu belakang “lari lah yang kencang Timun Mas” seru Mbok Sirni.

Timun Mas teringat akan bungkusan yang diberikan ibunya. Ditebarnya biji mentimun.

Sungguh ajaib hutan menjadi lading mentimun yang lebat buahnya. Raksasa memakan setiap buah mentimun dan semakin menambah tenaga si raksasa. “Kemanapun kau berlari akan aku kejar Timun Mas” seru raksasa. Timun Mas ketakutan, kemudian menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhkah pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah raksasa terus mengejar Timun Mas.

Timun Mas menebarkan bungkusan ketiga yaitu garam, seketika hutan menjadi lautan luas. Walaupun kesakitan dan berdarah raksasa masih bisa melewati lautan luas.

Timun Mas semakin ketakutan  karena raksasa terus mengejarnya tanpa henti, kemudia ia menaburkan terasi dari bungkusan keempatnya. Seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan akhirnya raksasapun mati karena masuk kedalam lumpur mendidih.

“Terima kasih Tuhan, engkau telah melindungi hambamu ini”. Timun Mas mengucapkan syukur.

Akhirnya Timun Mas dan Mbok Sirni hidup bahagia, tanpa harus ketakutan raksasa mendatangi mereka.

Cerita Rakyat|Bawang Merah Bawang Putih

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Cerita Rakyat Bawang Putih

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.

“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Cerita Rakyat|Danau Toba

Cerita Rakyat danau Toba

Toba dan Parlin tinggal di pedalaman bagian Utara Pulau Sumatra. Mereka hidup dari bertani dan menjala ikan di sungai.

Hari itu Toba memutuskan menjala ikan. Dengan semangat, Toba menebar jaring ke dalam sungai. Setelah menunggu beberapa lama, Toba menarik jala. Oh… seekor ikan besar, berwarna emas sangat indah, terperangkap di sana. Toba sangat girang. Dengan hati-hati Toba meraih ikan itu seraya memasukkannya ke dalam wadah.

Alangkah indahnya, kau ikan. Aku akan memelihara mu, Toba berkata-kata sendiri. Setelah berkemas akhirnya Toba pun pulang. Sampai di rumah ikan tadi dipindah pada wadah yang lebih besar lalu ditaruhnya di tempat aman.

Esok paginya Toba bekerja seperti biasa. Pemuda yatim-piatu itu sangat rajin. Hasil panen padinya kali ini sangat baik, buah dari ketekunannya. Seusai memanen padi, Toba merasa lelah dan lapar. Ia pun beranjak pulang untuk bersantap siang.

Ketika sudah di dalam rumah Toba, sangat heran. Lauk-pauk telah terhidang di atas meja bambu. Aroma masakannya sungguh harum. Belum sirna rasa herannya, Toba melihat seorang wanita bersimpuh dekat perapian. Wanita itu sangat cantik. Rambutnya hitam legam panjang terurai. Wajahnya bak bulan purnama. Dengan rasa takjub Toba menghampiri.

Hai, wanita. Siapakah engkau ! Dari mana engkau datang ? Toba bertanya.

Wanita itu menunduk. Air matanya menitik jatuh.

Kanda, akulah ikan yang engkau tangkap !

Hah...! Bagaimana mungkin ? Toba semakin heran. Kanda, telah lama aku memohon kepada Sang Pemilik Hidup, agar aku berubah menjadi manusia dan pria yang menemukan ku hendaklah menikah denganku, kata si wanita menjelaskan sambil terisak. Mendengar penuturan wanita itu, Toba sangat terharu.

Oh...! Baiklah Dinda. Aku bersedia menikah dengan mu, jawab Toba.

Tapi Kanda, ada satu syarat yang tidak boleh dilanggar!

Apakah syarat itu, Dinda? Toba bertanya lagi.

Kanda harus bersumpah. Kelak jika kita mempunyai anak, Kanda tidak boleh mengatakan bahwa dia anak ikan!

Baiklah Dinda, aku setuju.

Dua tahun setelah mereka menikah seorang anak laki-laki lahir. Mereka memberinya nama Samosir. Namun ada yang aneh pada diri Samosir. Hingga berusia tujuh tahun dia senantiasa merasa lapar. Baru saja makan, dia sudah merasa sangat lapar kembali dan minta makan lagi. Lapar dan lapar, begitulah Samosir. Jatah santap siang untuk ayahnya yang dititipkan ibunya, acapkali dimakannya di tengah perjalanan dan Toba -ayahnya- hanya makan sisa-sisanya.

Karena jarang santap siang tubuh Toba menjadi kurus dan lemah. Samosir juga sangat nakal. Dia suka memukul teman sepermainannya hingga menangis jika kehendaknya tidak dituruti. Nasehat Ayah dan Ibunya tidak pernah dihiraukan. Namun, Toba tetap sabar terhadap kelakuan Samosir yang tidak terpuji.

Mudah-mudahan anak ku, berubah menjadi anak yang baik,  Harap Toba dalam doa-doanya.

Saat itu cuaca sangat terik. Toba sangat lelah. Peluh bercucuran pada wajahnya yang tirus. Panen jagung saat itu berhasil baik. Sambil menunggu Samosir mengantar santap siang, Toba duduk di bawah pohon jambu yang rindang.

Tak lama kemudian Samosir pun tiba.

Kemarilah, Nak! Duduk dekat Ayah !

Toba berkata pada anaknya.

Ini makan siangmu, Ayah ! Samosir memberikan bungkusan titipan Ibunya. Toba pun membuka bungkusan.

Samosir, mengapa isi bungkusan ini hanya tinggal tulang-tulang ikan? tanya Toba kepada anaknya. Wajahnya tampak gusar.

Ayah. Tadi aku merasa sangat lapar dan haus, hingga aku memakannya,” jawab Samosir.

Bah...! Bukankah tadi engkau telah makan ? Toba mulai marah.

Tetapi Ayah, tadi aku sungguh sangat lapar. Makanan yang disediakan tak cukup bagiku karena Ayah pelit. Ayah sungguh pelit! Samosir berteriak pada Ayahnya.

Melihat tingkah anaknya yang semakin tidak sopan, Toba pun murka.

Anak tidak tahu terimakasi ! Dasar kamu ini akan ikan!!!

Mendengar amarah ayahnya, Samosir sungguh terkejut. Hatinya sungguh sedih. Berlinang airmata Samosir bertanya pada ibunya.

“Ibu..Ibu...Ibu...! Mengapa Ayah mengatakan aku anak ikan ! Benarkah itu Ibu?

Ibu Samosir sungguh terkejut. Tubuhnya lunglai. Menggigil gemetar, menahan duka yang amat sangat.

Anakku, Samosir. Pergilah ke atas bukit di sana, Nak. Namun, ingatlah senantiasa aku ini adalah ibumu,  kata ibu Samosir mengingatkan anaknya. Ooo...Sang Pemilik Hidup, suami hamba telah melanggar sumpahnya. Sekarang aku pun akan kembali ke alamku!

Tiba-tiba langit mendung, lalu hujan turun sangat deras, petir menyambar-nyambar, guruh menggelegar. Si wanita lenyap, kembali ke alamnya. Dari bekas telapak kakinya memancar mata air besar, menggenangi daratan luas hingga menjadi danau luas dan indah. Danau Toba