Toba dan Parlin tinggal di pedalaman bagian Utara Pulau Sumatra. Mereka hidup dari bertani dan menjala ikan di sungai.
Hari itu Toba memutuskan menjala ikan. Dengan semangat, Toba menebar jaring ke dalam sungai. Setelah menunggu beberapa lama, Toba menarik jala. Oh… seekor ikan besar, berwarna emas sangat indah, terperangkap di sana. Toba sangat girang. Dengan hati-hati Toba meraih ikan itu seraya memasukkannya ke dalam wadah.
Alangkah indahnya, kau ikan. Aku akan memelihara mu, Toba berkata-kata sendiri. Setelah berkemas akhirnya Toba pun pulang. Sampai di rumah ikan tadi dipindah pada wadah yang lebih besar lalu ditaruhnya di tempat aman.
Esok paginya Toba bekerja seperti biasa. Pemuda yatim-piatu itu sangat rajin. Hasil panen padinya kali ini sangat baik, buah dari ketekunannya. Seusai memanen padi, Toba merasa lelah dan lapar. Ia pun beranjak pulang untuk bersantap siang.
Ketika sudah di dalam rumah Toba, sangat heran. Lauk-pauk telah terhidang di atas meja bambu. Aroma masakannya sungguh harum. Belum sirna rasa herannya, Toba melihat seorang wanita bersimpuh dekat perapian. Wanita itu sangat cantik. Rambutnya hitam legam panjang terurai. Wajahnya bak bulan purnama. Dengan rasa takjub Toba menghampiri.
Hai, wanita. Siapakah engkau ! Dari mana engkau datang ? Toba bertanya.
Wanita itu menunduk. Air matanya menitik jatuh.
Kanda, akulah ikan yang engkau tangkap !
Hah...! Bagaimana mungkin ? Toba semakin heran. Kanda, telah lama aku memohon kepada Sang Pemilik Hidup, agar aku berubah menjadi manusia dan pria yang menemukan ku hendaklah menikah denganku, kata si wanita menjelaskan sambil terisak. Mendengar penuturan wanita itu, Toba sangat terharu.
Oh...! Baiklah Dinda. Aku bersedia menikah dengan mu, jawab Toba.
Tapi Kanda, ada satu syarat yang tidak boleh dilanggar!
Apakah syarat itu, Dinda? Toba bertanya lagi.
Kanda harus bersumpah. Kelak jika kita mempunyai anak, Kanda tidak boleh mengatakan bahwa dia anak ikan!
Baiklah Dinda, aku setuju.
Dua tahun setelah mereka menikah seorang anak laki-laki lahir. Mereka memberinya nama Samosir. Namun ada yang aneh pada diri Samosir. Hingga berusia tujuh tahun dia senantiasa merasa lapar. Baru saja makan, dia sudah merasa sangat lapar kembali dan minta makan lagi. Lapar dan lapar, begitulah Samosir. Jatah santap siang untuk ayahnya yang dititipkan ibunya, acapkali dimakannya di tengah perjalanan dan Toba -ayahnya- hanya makan sisa-sisanya.
Karena jarang santap siang tubuh Toba menjadi kurus dan lemah. Samosir juga sangat nakal. Dia suka memukul teman sepermainannya hingga menangis jika kehendaknya tidak dituruti. Nasehat Ayah dan Ibunya tidak pernah dihiraukan. Namun, Toba tetap sabar terhadap kelakuan Samosir yang tidak terpuji.
Mudah-mudahan anak ku, berubah menjadi anak yang baik, Harap Toba dalam doa-doanya.
Saat itu cuaca sangat terik. Toba sangat lelah. Peluh bercucuran pada wajahnya yang tirus. Panen jagung saat itu berhasil baik. Sambil menunggu Samosir mengantar santap siang, Toba duduk di bawah pohon jambu yang rindang.
Tak lama kemudian Samosir pun tiba.
Kemarilah, Nak! Duduk dekat Ayah !
Toba berkata pada anaknya.
Ini makan siangmu, Ayah ! Samosir memberikan bungkusan titipan Ibunya. Toba pun membuka bungkusan.
Samosir, mengapa isi bungkusan ini hanya tinggal tulang-tulang ikan? tanya Toba kepada anaknya. Wajahnya tampak gusar.
Ayah. Tadi aku merasa sangat lapar dan haus, hingga aku memakannya,” jawab Samosir.
Bah...! Bukankah tadi engkau telah makan ? Toba mulai marah.
Tetapi Ayah, tadi aku sungguh sangat lapar. Makanan yang disediakan tak cukup bagiku karena Ayah pelit. Ayah sungguh pelit! Samosir berteriak pada Ayahnya.
Melihat tingkah anaknya yang semakin tidak sopan, Toba pun murka.
Anak tidak tahu terimakasi ! Dasar kamu ini akan ikan!!!
Mendengar amarah ayahnya, Samosir sungguh terkejut. Hatinya sungguh sedih. Berlinang airmata Samosir bertanya pada ibunya.
“Ibu..Ibu...Ibu...! Mengapa Ayah mengatakan aku anak ikan ! Benarkah itu Ibu?
Ibu Samosir sungguh terkejut. Tubuhnya lunglai. Menggigil gemetar, menahan duka yang amat sangat.
Anakku, Samosir. Pergilah ke atas bukit di sana, Nak. Namun, ingatlah senantiasa aku ini adalah ibumu, kata ibu Samosir mengingatkan anaknya. Ooo...Sang Pemilik Hidup, suami hamba telah melanggar sumpahnya. Sekarang aku pun akan kembali ke alamku!
Tiba-tiba langit mendung, lalu hujan turun sangat deras, petir menyambar-nyambar, guruh menggelegar. Si wanita lenyap, kembali ke alamnya. Dari bekas telapak kakinya memancar mata air besar, menggenangi daratan luas hingga menjadi danau luas dan indah. Danau Toba
0 comments
Post a Comment