Dalam sudut pandang Islam Cinta sejati hanyalah milik Allah semata

Pengertian Cinta Sejati



Kompasko CINTA,  kata  ini  sudah  tidak  asing  lagi  di  telinga  kita.  Kita  pun  mungkin  sudah  pernah  merasakannya.  Kalau  seseorang  bertemu  dengan  lawan  jenis  lalu  merasa  berdebar-debar  bercampur  dengan  perasaan  takut,  malu,  dan  senang  maka  sering  dikatakan  bahwa  orang  tersebut  sedang  jatuh  cinta.  

Jika  cinta  tumbuh  di  hati  seseorang,  maka  orang  itu  pasti  akan  selalu ingin dekat dengan yang dicintainya, dia akan merasa bahagia manakala bisa berduaan dengan sang kekasih hingga waktu terlewat dengan begitu cepatnya. 

Sudah  sejak  jaman  dahulu  orang  sudah  berusaha  mendefinisikan  apa  itu  “cinta”  dan  menggambarkan  perasaan  ketika  seseorang  jatuh  cinta.  Banyak  syair  dan  lagu  diciptakan  untuk menggambarkan perasaan tersebut. Demikian pula novel-novel yang bertemakan cinta selalu laris di pasaran. 

Banyak kisah-kisah romantis yang sangat terkenal dari masa ke masa yang  bertujuan  menunjukkan  adanya  cinta  sejati,  seperti  misalnya  kisah  cinta  Romeo  dan  Juliet, Cinderella, Putri Salju maupun kisah cinta yang berlatar belakang budaya lokal seperti Ande-ande  Lumut.  

Dari  kisah-kisah  tersebut,  umumnya  orang  mendefinisikan  cinta  sejati  adalah identik dengan kesetiaan sepanjang masa dan keikhlasan untuk menerima kekurangan dari orang yang dicintainya dan sebagainya.  Dalam  sudut  pandang  Islam,  cinta  sejati  hanyalah  milik  Allah  semata,  ini  sesuai  dengan  sifatnya  yaitu  Maha  Pengasih  dan  Maha  Penyayang.  

Sebagai  Dzat  yang  Maha  Kuasa,  Allah  tidak   pernah   membutuhkan   cinta   dari   makhluknya,  namun   Dia   selalu   mengasihi   dan   menyayangi semua makhluknya. Sebagai  hamba-Nya,  kita  seringkali  tanpa  sadar  mengabaikan  cinta-Nya  sehingga  cinta-Nya  seolah bertepuk sebelah tangan. Sering kita enggan membalas sapaannya-Nya dengan penuh cinta, bahkan kadang tanpa kita sadari kita membalas lambaian tangan-Nya yang penuh kasih sayang   hanya   karena   mengharap   “laba”   berupa   pahala.   

Seringkali   kita   terlalu   asyik   menghitung-hitung pahala yang akan kita terima hingga lupa untuk mencintai-Nya.  Seseorang yang mencintai Rabb-Nya akan selalu merasa dekat dengan-Nya dan selalu ingin bercumbu   dengan-Nya.   

Kebahagiaanya   hanyalah   ketika   dia   dapat   merasakan   sentuhan    tangan-Nya yang penuh cinta. Oleh karena itu dia selalu menyebut nama-Nya dimanapun dia berada  agar  cintanya  mendapat  pengakuan  dari-Nya.  

Ketakutannya  hanya  satu,  yaitu  di  murkai  oleh  kekasihnya,  yaitu  Allah.  Oleh  karena  itu,  dia  akan  selalu  berusaha  hidup  dan  menempatkan dirinya di jalan-Nya. Seorang   kekasih   Allah   akan   menempatkan   semua   pemberian-Nya,   baik   harta   benda,   keluarga,  suami/istri  sebagai  wujud  cinta  Allah  padanya  sekaligus  sebagai  media  untuk  mengungkapkan  kecintaannya  pada  Allah.  

Dia  akan  menjaga,  mencintai,  dan  menyayangi  semua pemberian-Nya dengan sepenuh hati sebagai wujud rasa syukur dan kecintaanya pada Allah. Segala ujian dan cobaan yang diterima dari-Nya dirasa sebagai sebuah cubitan sayang dari Sang Kekasih yang akan disusul dengan dekapan mesra dari-Nya. 

Ketaatan  kita  kepada  Allah  hendaknya  didasarkan  pada  kecintaan  kita  kepada-Nya.  Rasa  cinta itu sesungguhnya tumbuh dari hati seseorang sejak orang tersebut di dalam kandungan. Begitu seseorang lahir ke dunia, maka setan mulai menggoda orang tersebut, sehingga lambat laun  rasa  cinta  kepada  Allah  menjadi  luntur  berganti  pada  kecintaan  dunia.  Ini  ibarat  lampu  minyak  dengan  dinding  kaca  bening.  

Semakin  lama  dinyalakan,  maka  dinding  kaca  akan  semakin  tertutup  dengan  jelaga  sehingga  pancaran  sinar  lampu  tersebut  semakin  lama  semakin  redup.  Agar  sinar  lampu  itu  menjadi  terang  kembali,  maka  dinding  kaca  tersebut  harus  kita  bersihkan  dari  kotoran  yang  menempel.  

Semakin  bertambah  umur  kita,  kotoran  yang menutupi rasa cinta kita pada Allah semakin tebal. Untuk membersihkan kotoran itu dan memperkuat kecintaan kita pada Allah,  kita  perlu  meluruskan  niat  kita  dalam  beribadah  dan  memperbanyak  dzikir  mengingat  Allah.  

Ada  satu  ungkapan  yang  populer  di  kalangan  sufi,  “Jika  Allah  tidak  menciptakan  surga  dan  neraka,  Allah  tidak  menjanjikan  pahala  dan  Allah  juga tidak mengancam dengan siksa api neraka, lalu Allah memerintahkan kamu untuk shalat dan  bermunajat  kepada-Nya,  maka  apakah  kamu  masih  akan  mentaati-Nya?”  Semoga  ungkapan  itu  bisa  menjadi  bahan  renungan  buat  kita  semua  sekaligus  untuk  mengukur  kecintaan kita kepada-Nya.

Dan di antara akhlaq yang mulia juga: Berbuat baik dengan tetangga

tetangga


Berbuat baik dengan tetangga


Dan di antara akhlaq yang mulia juga: Berbuat baik dengan tetangga. Yang dimaksud dengan tetangga di sini ialah: mereka yang rumahnya saling berdekatan dengan anda. Dan yang rumahnya paling dekat dengan anda, mereka adalah tetangga yang paling berhak mendapatkan pergaulan baik dan perilaku mulia dari anda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 


“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (QS. anNisaa': 36).

Yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk berbuat baik dengan tetangga yang dekat maupun tetangga yang jauh.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

من كان يؤمن باالله واليوم الآخر, فليكرم جاره

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya 33".

Beliau juga bersabda:

 إذا طبخت مرقة , فأكثر ماءها , وتعاهد جيرانك 

"Jika engkau memasak sayur yang berkuah, maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada sebagian tetangga 34".

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

وما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه  

"Dan malaikat jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk berbuat baik dengan tetanggaku, hingga aku mengira bahwa seorang tetangga akan mewariskan hartanya kepada tetangganya yang lain 35". 

Beliau juga bersabda:

 واالله لا يؤمن واالله لا يؤمن واالله لا يؤمن 

"Demi Allah dia belum beriman, demi Allah dia belum beriman, demi Allah dia belum beriman", para sahabat bertanya: Siapakah yang belum beriman wahai Rasulullah?, beliau menjawab:

 الذي لا يأمن جاره بوائقه

 "Yang tidak merasa aman tetangganya dari gangguannya 36". Yakni dari tindak kejahatan dan tipu dayanya. 

Dan masih banyak lagi nash-nash yang menunjukan atas perhatian syari'at ini terhadap hak tetangga, perintah berbuat baik kepadanya dan juga anjuran untuk memuliakannya. Jika seorang tetangga beragama Islam dan sekaligus sebagai kerabat dekat kita, maka ia mempunyai tiga hak: haknya sebagai seorang muslim, haknya sebagai kerabat dekat, dan haknya sebagai tetangga.

Dan jika ia adalah seorang kerabat dekat sekaligus tetangga, maka baginya hanya dua hak saja: haknya sebagai kerabat dekat, dan haknya sebagai tetangga. 

Sedangkan jika ia seorang muslim akan tetapi bukan kerabat dekat, maka baginya juga hanya dua hak saja: haknya sebagai seorang muslim, dan haknya sebagai tetangga. Akan tetapi, jika tetangga tersebut seorang yang kafir atau non muslim, maka baginya hanya satu hak saja, yakni haknya sebagai tetangga.  

Akhlaq Mulia Antara Sifat Alami Dan Usaha


Sifat Alami Dan Usaha


Akhlaq Mulia Antara Sifat Alami Dan Usaha 


Sebagaimana akhlaq merupakan sebuah tabiat atau ketetapan asli, akhlaq juga bisa diperoleh atau diupayakan dengan jalan berusaha. Maksudnya, bahwa seorang manusia sebagaimana telah ditetapkan padanya akhlaq yang baik dan bagus, sesungguhnya memungkinkan juga baginya untuk berperilaku dengan akhlaq yang baik dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. 

Untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Asyajj 'Abdul Qais:

 إن فيك لخلقين يحبهما االله : الحلم والأناة 

"Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai; sifat santun dan tidak tergesa-gesa" Ia berkata:

 يا رسول االله أ, هما خلقان تخلقت ما , أم جبلني االله عليهما 

”Wahai Rasulullah, Apakah kedua akhlaq tersebut merupakan hasil usahaku, atau Allah-kah yang telah menetapkan keduanya padaku?” Beliau menjawab:

 بل جبلك االله عليهما 

"Allahlah yang telah mengaruniakan keduanya padamu". Kemudian ia berkata: 

الحمد الله الذي جبلني على خلقين يحبهما ورسوله

”Segala puji bagi Allah yang telah memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya”.

Maka, hal ini menunjukan bahwa akhlaq terpuji dan mulia bisa berupa perilaku alami (yakni karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya-pent) dan juga dapat berupa sifat yang dapat diusahakan atau diupayakan. Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa sifat yang alami tentu lebih baik dari sifat yang diusahakan. Karena akhlaq yang baik jika bersifat alami akan menjadi perangai dan kebiasaan bagi seseorang. Ia tidak membutuhkan sikap berlebih-lebihan dalam membiasakannya. Juga tidak membutuhkan tenaga dan kesulitan dalam menghadirkannya. Akan tetapi, ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Ia diberikan kepada seorang hamba yang dikehendaki oleh-Nya, barang siapa yang terhalang dari hal ini – yakni terhalang dari akhlaq tersebut secara tabiat alami –, maka sangat mungkin baginya untuk memperolehnya dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya. Yaitu dengan cara membiasakan dan melakukannya terus-menerus, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti Insya Allah. 


Siapakah Yang Lebih Utama? 

Dari sini timbul pertanyaan, yaitu: Siapakah yang lebih utama, seseorang yang telah dikaruniakan padanya akhlaq yang terpuji, dan seseorang yang bersungguh-sungguh berusaha dan berupaya agar dapat memperoleh akhlaq tersebut. Manakah di antara keduanya yang lebih tinggi kedudukannya?. Maka, kami berkata sebagai jawaban dari pertanyaan ini: Sesungguhnya tidak diragukan lagi, bahwa seseorang yang telah diberikan padanya akhlaq yang baik tentu lebih sempurna jika dilihat dari segi perilakunya yang memang sudah seperti itu, ataupun dilihat dari sisi telah tertanamnya akhlaq yang baik tersebut pada dirinya. Karena dia tidak akan merasa kepayahan dan kesulitan ketika menghadirkannya, dan juga tidak akan hilang darinya akhlaq tersebut meskipun ia berada dimanapun juga, karena memang akhlaq yang baik telah menjadi perangai dan tabiat aslinya. Kapanpun engkau bertemu dengannya pasti akan mendapatinya baik akhlaqnya, dan dalam keadaan bagaimanapun juga engkau bertatap muka dengannya, pasti akan menemuinya terpuji perilakunya. Maka, dari sisi yang satu ini dia tentu lebih sempurna tanpa diragukan lagi.

Adapun yang satunya lagi, ia telah bersungguh-sungguh berjuang melawan dan melatih dirinya untuk dapat berperilaku baik. Maka, tidak diragukan lagi bahwa dia mendapat pahala dari sisi perjuangannnya dalam melawan dirinya, dan tentu saja dia lebih utama dari sisi yang ini. Akan tetapi bagaimanapun juga, jika ditinjau dari segi kesempurnaan akhlaq, tentu saja dia kurang sempurna dari figur yang pertama.

Adapun jika ada seseorang yang mendapatkan karunia tersebut kedua-keduanya, yaitu secara alami dan setelah berusaha dan berupaya, tentu saja dia akan lebih sempurna lagi. Jadi ringkasnya, seseorang dalam masalah ini terbagi menjadi empat golongan: 
  • Orang yang terhalang untuk mendapatkan akhlaq yang mulia, baik secara alami maupun dengan jalan usaha dan upaya. 
  • Orang yang terhalang dari hal tersebut secara alami, akan tetapi ia dapat berusaha untuk memilikinya. 
  • Orang yang dikaruniai keduanya. 
  • Orang yang mempunyai akhlaq secara alami, akan tetapi terhalang dari usaha dan upaya untuk memilikinya.  

Dan tentu saja tidak diragukan lagi, bahwa golongan yang ketiga adalah yang paling utama, karena ia menyatukan antara keduanya dalam kemuliaan akhlaqnya5 .